PERKEMBANGAN SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN


PERKEMBANGAN SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN DI JAWA PADA MASA 

KEMERDEKAAN HINGGA AWAL ORDE BARU

Pesantren mengalami perkembangan yang dinamis di dalam sistem pendidikannya. Perkembangan ini merupakan jawaban atas kritik yang di tujukan kepadanya, maka perkembangan sistem pendidikan pesantren juga mengikuti perkembangan zamannya. Akan tetapi pesantren juga terus mempertahankan sistem pendidikan dengan tradisi- tradisi pesantrennya.

Bab ini akan menjelaskan secara singkat sejarah sistem pendidikan pesantren pada masa Kemerdekaan hingga awal masa Orde Baru. Pada masa Kemerdekaan ini, sistem pendidikan pesantren tradisional merupakan sistem utama yang tetap di gunakan oleh lembaga pesantren pada masa kemerdekaan yang kemudian terus berkembang pada masa Orde Baru hingga kini menjadi sistem pendidikan pesantren semi-modern (perpaduan sistem tradisional dengan sistem pendidikan modern). Sebelum masuk ke pembahasan, tidak ada salahnya sedikit membahas asal-usul sistem pendidikan pesantren serta perkembangannya sebelum masa Kemerdekaan.

A.    Sistem Pendidikan Pesantren dan Perkembangannya sebelum Masa Kemerdekaan

Sistem pendidikan pesantren menurut M. Arifin adalah sarana yang berupa perangkat organisasi yang diciptakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang berlangsung dalam pesantren. Unsur-unsur sistem pendidikan pesantren menurut Mastuhu dapat dikelompokkan sebagai berikut: aktor atau pelaku, seperti: kiai, santri, sarana perangkat keras, seperti masjid, asrama, atau  pondok, rumah kiai dan sebagainya. Sarana perangkat lunak, seperti: tujuan, kurikulum, metodologi pengajaran, evaluasi, dan alat-alat pendidikan lainnya. Unsur-unsur pesantren berbeda antara satu pesantren dengan pesantren lainnya, hal ini dapat dilihat dari besar kecilnya pesantren bersangkutan. Untuk pesantren kecil unsur-unsurnya cukup dengan kiai, santri, asrama atau pondok, kitab-kitab keagamaan, dan metode pengajaran, akan tetapi untuk pesantren besar perlu ditambah dengan unsur unsur lain, seperti : Ustadz sebagai pembantu kiai dalam  pengajaran, gedung sekolah atau madrasah, pengurus, tata tertib dan lain sebagainya sesuai dengan kebutuhan pesantren.

Sistem pendidikan pada pondok pesantren yang masih sama seperti sistem pendidikan di surau, langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama. Santri dibebaskan memilih bidang pengetahuan apa yang akan mereka pelajari dan pada tingkat pelajaran mana yang di minatinya karena sebuah kurikulum pesantren tidak berdasar umur, lama belajar atau tingkat pengetahuan.

Pada umumnya pesantren tradisional tidak mengenal kurikulum, silabus dan tahun ajaran yang jelas. Seorang santri dapat datang dan pergi kapan saja ia mau. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pesantren tidak mengenal ijazah tanda tamat belajar. Dalam pengambilan mata pelajaran tidak ada ketentuan yang ketat, kitab-kitab mana yang akan dipakai dan dipelajari terlebih dahulu. Namun dalam kasus-kasus tertentu, ada kitab-kitab yang dianggap semacam prasyarat untuk mempelajari kitab lainnya. Bahasa Arab misalnya, meskipun tidak secara langsung menyangkut permasalahan agama, namun karena Al-Qur’an dan Hadis menggunakan bahasa Arab, maka bahasa ini diperlukan seolah-olah pelajaran agama pula. Sejak pertama kali santri datang menginjakkan kakinya di pesantren, ia harus mempelajari bahasa Arab, dan menghafalnya tanpa boleh salah.

Selain tidak ada tahun ajaran dan kurikulum yang jelas dan sistematis, sistem pendidikan di pesantren juga tidak mengenal masa liburan resmi. Para santri boleh mengambil liburan kapan saja waktunya. Lamanya libur pun tergantung kemauan mereka. Meskipun demikian, ada juga bulan tertentu yang dianggap setengah masa liburan. Bulan yang dianggap setengah liburan itu adalah mengurangi kegiatan rutinnya. Seringkali bulan Ramadhan dipergunakan sebagai masa perenungan, baik oleh kiai, maupun para santrinya. Kadangkala dalam bulan itu diadakan semacam latihan diskusi, berdakwah, yang tidak jarang dengan melibatkan masyarakat dan ulama dari luar. Arena semacam itu sekaligus dimaksudkan untuk menguji tingkat pengetahuan dan pemahaman para santri terhadap pelajaran yang telah diterimanya Para santri biasa datang dari desa di sekitar pesantren untuk belajar di Masjid. Jika pesantren sudah terkenal, biasanya para santri datang dari tempat yang jauh. Pada tingkat permulaan, di samping mempelajari membaca Al-Qur’an, murid-murid juga diajarkan cara salat.

Murid juga dilatih untuk ikut pada salat berjamaah agar terbiasa melakukan kewajiban ini. Di samping itu, juga mempelajari masalah teologi yang bersangkutan dengan soal iman (kepada Allah), tauhid, menjauhkan sirik. Pelajaran elementer tersebut biasanya diberikan pada waktu petang atau malam hari karena pada pagi hari atau siang hari mereka membantu orang tua baik di sawah maupun kebun. Sedangkan pengajian kitab kuning hanya diikuti oleh santri yang sudah memiliki kualifikasi tertentu. Pengajian kitab ini menggunakan dua metode yakni sorogan dan weton/bandongan. Biasanya sorogan diberikan kepada santri yang sudah.

Materi yang dipelajari di pesantren berupa kitab-kitab karya-karya para ulama mutaakhirin, kitab yang ditulis dalam bahasa Arab, teks tertulis, karena itu cara penyampaiannya dijelaskan secara lisan oleh para kiai, sangat penting. Proses belajar-mengajarnya adalah beberapa santri membaca kitab tertentu di bawah bimbingan kiai. Ia biasanya membaca teks buku baris demi baris dan menerjemahkannya  ke  dalam  bahasa  pengantar  (tergantung  pada  daerahnya, seperti Melayu, Jawa, dan Sunda) disertai syarah (komentar seperlunya). Bagi Wahid, ciri utama dari pengajian tradisional ini adalah cara pemberian pengajarannya, yang ditekankan pada penangkapan harfiah (letterlijk) atas suatu kitab (teks) tersebut, untuk kemudian dilanjutkan dengan pembacaan kitab lain. Buku-buku yang dipelajari biasanya dicetak di Mekah, Kairo, dan Istambul. Setelah santri menamatkan kitab tertentu, mereka memperoleh ijazah, setelah itu mereka dapat berpindah ke pesantren lain untuk mempelajari kitab lain. Banyak kiai terkenal menjadi ahli sejumlah kitab tertentu, kebanyakan kiai hanya mengajarkan kitab kuning.

Di samping mengajarkan pengetahuan dasar tentang agama Islam, para kiai juga memberikan latihan mengenai cara hidup dan berpikir orang Islam, sikap hormat, takzim, dan kepatuhan mutlak santri kepada kiai merupakan salah satu nilai utama yang ditanamkan kepada setiap santri mereka. Selama berlangsungnya pendidikan, sering kali terjadi perubahan fundamental dalam struktur kepribadian santri.

Ketekunan seorang santri sangat diperlukan dalam menempuh  masa belajar secara tradisional. Sifat belajar di pesantren lebih merupakan syarah sepihak yaitu dari kiai kepada santri, daripada pembahasan bersama antara kiai dengan santri-santrinya. Keahlian yang dimiliki oleh kiai-kiai menyebabkan santri-santri pergi berpindah-pindah dari pesantren yang satu ke pesantren lain.

Jika ditinjau dari sudut pengembangan intelektual, kondisi pesantren semacam itu kelihatannya memang lebih menguntungkan bagi orang-orang  cerdas, rajin dan tekun. Mereka yang ingin sukses harus bersedia mengorbankan banyak waktunya untuk belajar. Sistem kebebasan yang ada di lingkungan pesantren, justru meminta imbalan yang cukup tinggi dari para santrinya. Mereka harus mampu mendisiplinkan dirinya sendiri.

Kehidupan pesantren berpusat pada kiainya, sering terjadi, sebuah pesantren yang terkenal, mati sama sekali jika kiai yang bersangkutan meninggal dunia. Hal ini terjadi, terutama pengganti kiai itu keahliannya berbeda atau tidak sama kepopulerannya dengan kiai yang digantikannya. Kiai dengan sebagai pusat kehidupan pesantren mengendalikan sistem pendidikan pesantrennya, mempunyai otoritas tertinggi dalam mengambil sebuah kebijakan dan keputusan kecil maupun besar pengaruhnya untuk pesantren.

Pengaruh kiai pada masa itu tidak hanya terasa pada pesantren atau suraunya, melainkan juga terasa ke seluruh desa. Kiai yang bersangkutan dimuliakan oleh segenap penduduk desa. Dalam soal sehari-hari, pendapat dan nasihatnya sering diminta oleh orang-orang kampungnya. Perkataan seorang kiai umumnya tidak dibantah oleh para santri, ia menjadi panutan orang ramai, fatwanya dianggap benar, apalagi karena seolah-olah menjadi monopolinya yang diajarkannya sedikit demi sedikit kepada santrinya. Kedudukannya yang demikian itu ia tempati hingga hari tuanya, bahkan sering terjadi bahwa setelah matinya pun pengaruhnya belum juga putus. Namun, kurang tepat rasanya jika mengatakan bahwa fatwa kiai menjadi sebuah monopoli kepada santrinya, sebuah fatwa dapat diganti apabila sudah tidak sesuai dengan menggunakan tradisi intelektual pesantren yaitu metode Bahtsul Masa’il (Mudzakaroh).

Pada 1920-an system Pendidikan pesantren-pesantren mendapat semacam gugatan dan kritikan pedas dari para pembaru atau kaum muda. Kaum Tradisional di wilayah Priangan Barat, khususnya Sukabumi menyebut para pembaru itu dengan sebutan kaum mujaddid atau kaum tajdid dan sering pula disebut “mujtahid jaman ayeuna”. Berkaitan dengan lamanya belajar di pesantren, para mujaddid mengatakan bahwa agama Islam tidak menyuruh para kiai mengajari 10 tahun nahu, 10 tahun fikih, sementara iman tauhidnya tidak sempurna.58 Waktu kritik-kritik semacam itu dilontarkan, sebenarnya di beberapa pesantren sudah mulai dikembangkan pelajaran sistem kelas, atau madrasah tingkat ibtidaiyah bagi anak-anak atau santri tingkat pemula. Misalnya madrasah yang dikembangkan oleh pesantren Cantayan dan Genteng. Kemudian mereka menilai kitab-kitab kuning sudah ketinggalan zaman, artinya sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan perlu diganti. Bahkan ada yang secara ekstrem mengatakan bahawa orang yang menggunakan kitab-kitab ulama mutaakhirin, termasuk golongan kufar, musyrik, dan fasiq. Ada pula yang menuduh kaum tradisional itu bukan kaum ahli sunnah waljamaah.

Sistem pendidikan Barat dijadikan acuan dan standar untuk menjadikan sistem pendidikan pesantren beralih ke sistem pendidikan Barat yang bisa dikatakan westernisasi pendidikan Indonesia. Alasan utama Westernisasi sistem pendidikan   Indonesia      untuk   melemahkan   persatuan   Islam      tetapi juga menjelaskan keterpaduan yang kuat antara strategi pendidikan Belanda dan kegiatan misionaris Kristen. Tetapi, pendapat ini bisa dibilang berlebihan dikarenakan sistem pendidikan Belanda adalah sistem pendidikan sekuler yang merupakan bentuk kenetralan Belanda terhadap agama di Indonesia dan juga anggapan bahwa sistem pendidikan pesantren begitu buruknya sehingga Belanda lebih memilih sistem pendidikan sekuler.

Walau sistem pendidikan Barat menjadi acuan sistem pendidikan kolonial Belanda, namun sistem pendidikan pesantren tetap menjadi acuan masyarakat pribumi  yaitu  ketika  terjadi  “polemik  kebudayaan”  di tahun  1930-an, system pendidikan di pondok pesantren untuk pertama kali dibanggakan sebagai sistem yang tak terpaku pada penumpukan pengetahuan dan pengasahan otak, tetapi juga mementingkan kepribadian, karakter manusia. Hal ini bisa berdasarkan pada tiga elemen utama yang menjadikan pesantren sebagai sebuah sub-kultur: pola kepemimpinan di dalamnya yang berada di luar kepemimpinan pemerintahan desa, literatur universalnya yang terus dipelihara selama berabad-abad, dan system nilainya sendiri yang terpisah dari yang diikuti oleh masyarakat luas.

Pesantren tidak pernah bisa lepas dari masyarakat yang mengitarinya. Peranan yang paling sederhana adalah jasa “pelayanan keagamaan” kepada masyarakat sekitar- diwaktu talqin harus dibacakan atau doa selamat harus diucapkan. Disamping menjadikan wadah pendidikan, pesantren juga sebagai media tempat “ritus peralihan” bagi para remaja. Peralihan dari situsai remaja ke suasana dewasa.

Dari sejarah ini terlihat bahwa sebenarnya sistem pesantren bersifat “open minded”, “akomodatif”, dan “produktif”, walau mengalami penurunan jumlah santri yang memprihatinkan, yang disebabkan berbagai faktor internal dan eksternal, terutama makin banyaknya bermunculan pesantren baru dan sekolah lainnya. Tetapi sistem pesantren tetap berkembang dan eksis.

Apabila pada masa perjuangan kemerdekaan saja sudah terdapat kemunduran jumlah murid-murid (santri) pesantren dan madrasah, maka memasuki masa kemerdekaan hingga Orde Lama atau masa Revolusi, kemunduran tersebut makin meningkat. Sebagaimana kita ketahui pada masa itu, bangsa Indonesia mengalami peperangan yang panjang. Baik ikut serta dalam perang Dunia ke-2, perang melawan pasukan sekutu yaitu: Inggris dan Belanda hingga perang melawan seperatis atau pemberontakan. Dalam masa yang penuh peperangan ini maka kegiatan pendidikan pesantren pun terhambat.

B.     Sistem pendidikan pesantren dan perkembangannya pada masa Kemerdekaan hingga sebelum masa Orde Baru

Proklamasi  merupakan titik  puncak perjuangan pergerakan kemerdekaan, lepas  dari  belenggu  penjajahan  asing  dan  lainnya  Negara  Kesatuan  Republik Indonesia. Dengan proklamasi, bangsa Indonesia dapat menentukan hidupnya sendiri sesuai dengan harkat dan martabat, serta sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Terutama sendi-sendi pendidikan bangsa, tidak terkecuali pendidikan Islam yaitu pendidikan pesantren. Dengan demikian proklamasi membawa perubahan yang besar dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Sistem pendidikan pesantren pada masa kemerdekaan berkembang lambat, sehingga hanya beberapa aspek saja sistem pendidikan pesantren berkembang, seperti kurikulum, metode dan cara pengajarannya. Terlebih lagi sikap pesantren yang mempertahankan sistem pendidikannya dan sedikit menyesuaikan dengan perubahan zaman sebagai respon terhadap ekspansi sistem pendidikan umum yang disebarkan pemerintah dengan memperluas cakupan pendidikan mereka.

Sejak awal kehadiran pesantren didalam sistem pendidikannya dengan sifatnya yang lentur ternyata mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu juga pada masa kemerdekaan, banyak pesantren mampu menampilkan dirinya berperan aktif mengisi kemerdekaan dengan ikut berperang mempertahankan kemerdekaan dan membantu membangun negara, terutama dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas dan bermoral.

Meskipun demikian, pesantren juga tidak luput dari berbagai kritik terhadap kelemahan sistem pendidikan pesantren tradisionalnya. Tetapi beberapa pesantren dapat segera mengidentifikasi persoalan ini dan melakukan berbagai inovasi untuk pengembangan pesantren. Disamping pengetahuan agama Islam, diajarkan pula pengetahuan umum dan ketrampilan (vocational) sebagai upaya untuk memberikan bekal tambahan kepada santri agar selepas mereka dari pesantren dapat hidup mandiri dan mapan ditengah-tengah masyarakat. Beberapa pesantern juga telah menggunakan sistem klassikal dengan sarana dan prasarana pengajaran sebagaimana yang ada di sekolah-sekolah umum. Bahkan ada juga pesantren yang lebih cenderung mengelola dan membina lembaga pendidikan. formal, baik madrasah atau sekolah umum mulai dari tingkat dasar, hingga menengah atas.

Dinamika sistem pendidikan dan kelembagaan pondok pesantren ini meng-indikasikan terjadinya keberlangsungan dan perubahan dalam sistem pondok pesantren. Dalam konteks ini, pesantren disamping mampu terus menjaga eksistensinya juga sekaligus bisa mengimbangi dan menjawab perubahan dan tuntutan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa tradisi pesantren memiliki kelenturan budaya yang memungkinkannya bisa tetap hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Penting ditegaskan di sini bahwa dinamika tersebut pada kenyataannya tidak menggeser ciri khas dan sekaligus kekuatannya sebagai lembaga pendidikan Islam dan mempertahankan sistem pendidikan pesantren tradisionalnya.

Pesantren dalam mempertahankan sistem pendidikan pesantren tradisional dan usahanya masuk kedalam sistem pendidikan nasional mengalami berbagai tantangan dan rintangan yang cukup berat, misalkan dalam lingkup pendidikan, terjadi persaingan antara sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan non-pesantren yang pada masa kemerdekaan sistem pendidikan non-pesantren menjadi sistem pendidikan nasional yang utama.

Mirip dengan pesantren pada masa kolonial, pesantren dengan sistem pendidikannya di masa kemerdekaan juga memberikan respons terhadap ekspansi sistem pendidikan umum yang disebarkan pemerintah dengan memperluas cakupan pendidikan mereka untuk dapat bersaing agar mampu menjaga eksistensinya. Respon ini lebih lanjut dengan mengembangkan sistem pendidikan modern untuk menambah atau memperbaiki ke dalam sistem pendidikan pesantren tradisional. Pengembangan sistem pendidikan pesantren yang telah dimulai ditahun 1920-an di beberapa pesantren Jawa Barat dan Jawa Timur yang mengadopsi sistem madrasah, sebagaimana sistem yang berlaku di sekolah-sekolah umum, tetapi pelajarannya dititik beratkan pada pelajaran agama saja. Sistem halaqah digantikan dengan sistem kelas dan pengaturannya memakai metode klasikal dengan mempunyai lima kelas, misalnya: madrasah pesantren Genteng yang dipimpin Haji Ahmad Sanusi di Sukabumi. Pelajaran agamanya tetap menggunakan literatur kitab-kitab klasik, merupakan perkembangan sistem pendidikan pesantren tradisional. Pengembangan ini tidak berhenti di sini saja, tetapi terus berlanjut di Jawa Barat dan Jawa Timur. Sedikitnya terdapat dua cara yang dilakukan pesantren dalam hal ini: pertama,   merevisi  kurikulumnya  dengan  memasukkan  semakin   banyak  mata pelajaran dan ketrampilan umum; kedua, membuka kelembagaan dan fasilitas- fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum.

Cara pertama, seperti telah dikemukakan di atas, telah dimulai kalangan pesantren sejak masa Belanda, meski dengan skala yang sangat terbatas. Tetapi dalam masa kemerdekaan, pembaruan kurikulum itu terus menemukan momentumnya. Namun perlu ditegaskan, bahwa pembaruan kurikulum ini tidak berjalan merata di seluruh pesantren; bahkan pesantren-pesantren yang menerima pembaruan tersebut hanya menerapkannya secara terbatas. Tambahan lagi, terdapat banyak pesantren yang dipimpin oleh kiai lebih konservatif yang umumnya cenderung sangat resistan terhadap pembaruan kurikulum atau substansi pendidikan pesantren.

Kemunculan madrasah ini kemudian mendapatkan perhatian pemerintah, pada tahun 1946 dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah dilakukan dengan memasukkan tujuh mata pelajaran umum yang harus diajarkan sebagai program kurikuler. Langkah ini kemudian ditindaklanjuti lagi oleh Departemen Agama pada tahun ajaran 1958/1959 dengan memperkenalkan Madrasah Wajib Belajar (MWB) sebagai salah satu usaha pembaruan sistem pendidikan madrasah. Melalui program ini, bagi madrasah yang sudah memenuhi standar yang telah ditentukan, mendapatkan pengakuan telah memenuhi kewajiban belajar

Pemerintah melakukan kompromi dengan diterapkannya sistem ganda. Ini berarti bahwa model pendidikan sekuler yang dituntut oleh para pemimpin nasionalis sekuler didampingi oleh model pendidikan agamawi yang dituntut oleh para pemimpin Muslim. Kelak, model yang pertama ini dikenal sebagai pendidikan “umum”, yang dikelola oleh Departemen Pendidikan  dan Kebudayaan,   sedangkan   yang   kedua  dikenal  sebagai  pendidikan  “agamawi” dikelola oleh Departemen Keagamaan (Depag). Karena dengan adanya sistem pendidikan pesantren tradisional yang mengikuti zamannya, menjadikan pesantren tetap mempunyai daya tariknya.

Perpaduan antara sistem pendidikan tradisional dengan sistem pendidikan formal tersebut dilihat dari perspektif tertentu masih menimbulkan kelemahan. Di samping itu, kehadiran sistem pendidikan formal yang diadaptasi pesantren juga mengurangi sikap independensi pesantren. Dengan menyelenggarakan sistem pendidikan formal, konsekuensinya pesantren harus mengikuti standar-standar yang diterapkan pemerintah. Misalnya, pesantren tidak lagi bisa membikin kurikulum sendiri untuk kepentingan madrasah Tsanawiyahnya yang mengikuti jalur Departemen Agama.

Kelemahan lainnya lagi adalah timbulnya orientasi ekonomis di kalangan pesantren yang bisa mengurangi kadar keikhlasan santri ketika belajar di pesantren. Menurut Mujammil Qomar, para santri boleh jadi mengharap memperoleh ijazah sebagai “tiket” untuk memperoleh kedudukan atau pekerjaan tertentu di masa depan seperti yang terjadi pada siswa-siswa sekolah pada umumnya. Persoalan-persoalan ini merupakan segi-segi kelemahan dari sistem pendidikan pesantren yang mengadaptasi sistem pendidikan formal. Sistem ini juga memiliki kelebihan-kelebihan pada segi-segi lainnya. Dengan cara ini, sistem pendidikan pesantren tradisional tetap dapat mempertahankan tradisi pesantrennya dan tetap berfungsi dalam pengertian aslinya, yakni sistem yang telah di bahas sebelumnya, dan sekaligus merupakan sistem pendidikan Islam madrasah bagi anak-anak di lingkungan pesantren. Boleh jadi, sebagian murid-murid madrasah ini juga menjadi santri mukim di pesantren yang bersangkutan. Tetapi, setidaknya dengan terdaftar sebagai murid madrasah, mereka kemudian mendapat pengakuan dari Dapartemen Agama, dan dengan demikian memiliki akses lebih besar didalam menentukan masa depannya. Misalnya adalah lulusan MTs yang dapat melanjutkan ke SMA, ataupun lulusan MA yang dapat melanjutkan ke PTN (Perguruan Tinggi Negeri).

Tidak ada komentar:

Gambar tema oleh Jason Morrow. Diberdayakan oleh Blogger.